Friday, 6 January 2017

MAWAR BERDURI DITEPI JURANG

renungan untuk seorang wanita yang sesungguhnya mahal sekali hargamu dimata dunia :)
MAWAR BERDURI DI TEPI JURANG
Ya, saya jadi ingat kejadian waktu Tahun 1998 kira-kira. Di situ ada sebuah kejadian, saya ngisi sebuah training motivasi di Kota Bogor. Pesertanya waktu itu anak-anak SMA kelas 1 dan kelas 2. Sampai kemudian saya kasih mereka semua selembar kertas, lembar kertas A4, dan saya minta mereka menggambar sebuah gambar yang gambar itu bisa menjelaskan siapa mereka. Apapun yang mereka maksud tentang mereka. Kalau ada yang mengertinya cita-cita, gambarlah cita-cita mereka. Kalau ada yang mengertinya keadaan diri dan keluargnya sekarang, gambarkan itu. Semuanya menggambar. Karena pesertanya anak-anak SMA, gak ada yang serius gambarnya. Semua bercanda. Ada yang gambar inilah, gambar ini, dan lain sebagainya, bercanda. Sampai kemudian ada seorang perempuan, namanya Ummu, waktu itu dia masih kelas 1 SMA. Dia gambar berbeda. Dia gambar mawar, lalu ada duri-durinya dan kemudian di belakangnya dengan background warnanya gelap, hitam. Kemudian saya tanya, “Mu, kamu gambar apa Mu?”
Lalu dia bilang, “Kang, saya gambar mawar berduri.”
“Apa Maksudnya?”
Dia bilang, “Mawar itu sempurna karena ada durinya. Mawar itu sempurna justru karena punya duri. Cuman banyak orang bilang, duri pada mawar itu mengurangi keindahan mawar, merusak keindahan mawar, mengganggu mawar. Padahal justru duri itulah yang membuat mawar dikatakan mawar. Duri itulah yang membuat mawar dikatakan sempurna.”
Lalu saya tanya, “Lalu hubungannya apa dengan kamu?”
Lalu dia bilang, “Saya gambarkan diri saya, perempuan, seperti mawar dan duri itu adalah aturan Tuhan bagi setiap perempuan, aturan Tuhan bagi setiap wanita.”
Dia katakan gini, “Seperti duri pada mawar, banyak orang bilang aturan Allah bagi setiap perempuan itu merusak keindahan perempuan, membuat perempuan susah gaul, susah bekerja, susah beraktivitas. Padahal seperti duri pada mawar, aturan itu juga yang membuat wanita dikatakan wanita.” Maka dia katakan, “Saya mawar berduri. Saya wanita dengan apa yang Tuhan mau untuk saya lakukan, saya akan lakukan, dengan apa yang Tuhan mau saya kenakan, akan saya kenakan, apa yang Tuhan mau untuk saya rasakan, akan saya rasakan, apa yang Tuhan mau untuk saya katakan akan saya katakan, apa yang Tuhan mau untuk saya lakukan, maka saya akan lakukan. Maka saya mawar berduri. Saya perempuan dengan apa yang Tuhan mau, Tuhan mau, Tuhan mau ada pada diri saya."
Waktu itu seluruh suasana di ruangan itu, dua ratus orang mungkin pesertanya, terdiam karena ternyata ada satu orang yang serius di antara puluhan orang yang sudah maju sebelumnya dan tidak ada yang serius.
Kemudian saya tanya lagi, “Lalu Mu, kenapa di belakangnya dikasih warna gelap (hitam), kan bisa pilih warna kuning, biru, hijau, merah, atau yang lainnya. Kenapa dikasihnya warna gelap?”
Lalu dia bilang begini, waktu itu dia anak SMA yang bicara yang luar biasa. Dia katakan, “Kang, saya tidak mau jadi mawar berduri di tengah taman. Kalau saya jadi mawar berduri di tengah taman, gampang orang untuk memetik saya. Mudah untuk memetik saya. Hanya ada denda lima puluh ribu atau dua bulan kurungan, lalu orang memetik saya dengan sangat mudah. Saya nggak mau seperti itu. Saya pengin jadi mawar berduri di tepi jurang, makanya saya warnai gelap di belakangnya.”
“Maksudnya apa?”
Dia bilang, “Saya ingin menjadi mawar berduri ditepi jurang, karena suatu saat nanti saya yakin,”kata dia, “kalau kelak akan ada laki-laki yang akan memetik saya, dia pasti laki-laki yang paling berani mengorbankan nyawanya untuk saya. Resikonya besar di tepi jurang. Nyawa, bukan sekedar denda, bukan sekedar kurungan beberapa bulan.”
Luar biasa. Waktu itu semua tepuk tangan dan terkagum-kagum dengan pemikiran seorang anak kelas 1 SMA ini. Kejadiannya Tahun ’98 kurang lebih ya. Lalu beberapa tahun kemudian saya dengar informasinya. Ini anak biasa. Dia bukan dari keluarga kaya. Dia orangnya sederhana. Bahkan dia punya penyakit jantung. Dibilang cantik, juga tidak cantik, cantik seperti bintang sinetron, biasa saja. Penampilan semua biasa. Keluarga biasa. Ekonomi biasa. Tapi beberapa tahun kemudian, dia keterima kuliah, PMDK tanpa syarat, Fakultas Kedokteran UI. Sekarang dia sudah berkeluarga, sudah punya anak, sudah berhasil menjadi dokter spesialis di Depok. Luar biasa. Dia menjadi indah karena dia tidak pernah memburukkan gambarnya. Kalau orang bertanya tentang siapa dia, maka dia jawab dengan indah karena dia yakin Allah akan bantu meng-indahkan masa depannya. Kalau orang tanya tentang cita-citanya, dia akan katakan yang terbaik karena dia yakin apapun keadaannya dia hari ini, Allah akan bantu meng-indahkan cita-citanya di depan.
Sahabat MQ, kisah ini luar biasa. Sampai sekarang bahkan saya sudah ceritakan dua kali dalam dua buku saya. Menginspirasi luar biasa. Seorang yang menjadi besar karena tidak pernah merasa kecil. Buat kita yang punya Allah Yang Maha, Yang Maha, Yang Maha itu, kenapa kita harus merasa kecil? Kalau hari ini kita merasa tidak punya harta, kita miskin, tapi kan kita hidup bersama Allah Yang Maha Kaya. Jadi kenapa kita harus minder karena kemiskinan kita? Kalau hari ini kita merasa kecil, toh kita dekat dan lebih dekat dari urat nadi kita dengan Allah Yang Maha Besar. Jadi kenapa kita takut dengan kekecilan kita? Kalau hari ini kita merasa tidak berilmu, toh kita hidup senantiasa dengan Allah Yang Maha Tahu. Jadi kenapa kita harus takut, minder, tidak percaya diri hanya karena apa yang kita ada sekarang?
Kisah Nabi Yusuf mengajarkan, di Qur’an surat Yusuf. Kisah Nabi Yusuf dimulai dari ayat ke-5, dan di ayat ke-5 itu Nabi Yusuf berkata kepada Bapaknya, pada Ayahnya, “Ayahku, aku bermimpi melihat sebelas bintang, bulan dan matahari, semuanya sujud kepadaku.” Lalu ayat ke-6 sampai ayat ke-99 itu hanya kisah perjuangan Nabi Yusuf. Dia dimasukkan ke dalam sumur, dia dijadikan budak, dia dijual, dipenjara, digoda Zulaikha, terus, terus, terus, dan terus. Cobaan semua. Sampai di ayat ke-100 Nabi Yusuf berhasil menjadi raja, lalu dia panggil Ayah dan Saudara-Saudaranya, kemudian dia dudukkan Ayahnya di singgasananya. Lalu dia bilang, “Ayahku, ini mimpiku yang dulu kukatakan kepadamu. Dan sungguh Allah telah baik untuk menjadikannya kenyataan. Maka kalau kita beriman kepada Nabi Yusuf, kita belajar kepada Nabi Yusuf. Kisah Nabi Yusuf mengajarkan kepada kita, kalau kisah hidup kita bukan dimulai kemarin, dari siapa kita lahir, apa latarbelakang kita, dan dari mana kita dulu sekolah atau kuliah, apa pekerjaan kita sekarang. Tapi kisah hidup kita dimulai saat kita berani mengatakan apa mimpi kita, apa yang kita inginkan di depan-Nya. Dan kisah hidup kita hanya pantas diakhiri, seperti kisah Nabi Yusuf. Saat kita berhasil mendapatkan apa yang pernah kita gambarkan tadi dan kita katakan kepada orang-orang yang pernah kita katakan mimpi kita, “Sungguh Allah telah baik untuk menjadikannya kenyataan.”

TSABIT BIN IBRAHIM

khusus kalian ikhwan..
Kisah Pemuda Yang Menikahi Wanita “Buta, Tuli, Bisu dan Lumpuh”Seorang lelaki yang soleh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba dia melihat Sebuah apel jatuh keluar pagar sebuah kebun buah-buahan. Melihat apel yang merah ranum itu tergeletak di tanah membuat air liur Tsabit terbit, apalagi di hari yang panas dan tengah kehausan. Maka tanpa berfikir panjang dipungut dan dimakannyalah buah apel yang lazat itu, akan tetapi baru setengahnya di makan dia teringat bahawa buah itu bukan miliknya dan dia belum mendapat izin pemiliknya.Maka ia segera pergi kedalam kebun buah-buahan itu hendak menemui pemiliknya agar meninta dihalalkan buah yang telah dimakannya. Di kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki. Maka langsung saja dia berkata, “Aku sudah makan setengah dari buah apel ini. Aku berharap anda menghalalkannya”. Orang itu menjawab, “Aku bukan pemilik kebun ini. Aku Khadamnya yang ditugaskan menjaga dan mengurus kebunnya”.Dengan nada menyesal Tsabit bertanya lagi, “Dimana rumah pemiliknya? Aku akan menemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah ku makan ini.”Pengurus kebun itu memberitahukan, “Apabila engkau ingin pergi kesana maka engkau harus menempuh perjalan sehari semalam”.Tsabit bin Ibrahim bertekad akan pergi menemui si pemilik kebun itu. Katanya kepada orang tua itu, “Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku kerana tanpa izin pemiliknya. Bukankah Rasulullah s.a.w. sudah memperingatkan kita melalui sabdanya: “Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka”Tsabit pergi juga ke rumah pemilik kebun itu, dan setiba di sana dia langsung mengetuk pintu. Setelah si pemilik rumah membukakan pintu, Tsabit langsung memberi salam dengan sopan, seraya berkata,” Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh ke luar kebun tuan. Kerana itu mahukah tuan menghalalkan apa yang sudah ku makan itu?”Lelaki tua yang ada dihadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat. Lalu dia berkata tiba-tiba, “Tidak, aku tidak boleh menghalalkannya kecuali dengan satu syarat.” Tsabit merasa khawatir dengan syarat itu kerana takut ia tidak dapat memenuhinya. Maka segera ia bertanya, “Apa syarat itu tuan?” Orang itu menjawab,“Engkau harus mengawini putriku !”Tsabit bin Ibrahim tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu, maka dia berkata, “Apakah kerana hanya aku makan setengah buah apelmu yang keluar dari kebunmu, aku harus mengawini putrimu?”Tetapi pemilik kebun itu tidak mempedulikan pertanyaan Tsabit. Ia malah menambahkan, katanya, “Sebelum pernikahan dimulai engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku itu. Dia seorang yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dariitu ia juga seorang yang lumpuh!”Tsabit amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berfikir dalam hatinya, apakah perempuan seperti itu patut dia persunting sebagai isteri gara-garasetengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya? Kemudian pemilik kebun itu menyatakan lagi, “Selain syarat itu aku tidak boleh menghalalkan apa yang telah kaumakan !”Namun Tsabit kemudian menjawab dengan mantap, “Aku akan menerima pinangannya dan perkahwinanya. Aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul ‘alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban danhak-hakku kepadanya kerana aku amat berharap Allah selalu meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta’ala”.Maka pernikahan pun dilaksanakan. Pemilik kebun itu menghadirkan dua saksi yang akan menyaksikan akad nikah mereka. Sesudah perkahwinan selesai, Tsabit dipersilahkan masuk menemui isterinya. Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia berfikir akan tetap mengucapkan salam walaupun isterinya tuli dan bisu, kerana bukankah malaikat Allah yang berkeliaran dalam rumahnya tentu tidak tuli dan bisu juga. Maka iapun mengucapkan salam, “Assalamu”alaikum…”Tak disangka sama sekali wanita yang ada dihadapannya dan kini resmi jadi isterinyaitu menjawab salamnya dengan baik. Ketika Tsabit masuk hendak menghampiri wanita itu , dia mengulurkan tangan untuk menyambut tangannya. Sekali lagi Tsabit terkejut kerana wanita yang kini menjadi isterinya itu menyambut uluran tangannya.Tsabit sempat terhentak menyaksikan kenyataan ini. “Kata ayahnya dia wanita tuli dan bisu tetapi ternyata dia menyambut salamnya dengan baik. Jika demikian berarti wanita yang ada dihadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahawa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula”, Kata Tsabit dalam hatinya. Tsabit berfikir, mengapa ayahnya menyampaikan berita-berita yang bertentangan dengan yang sebenarnya ?Setelah Tsabit duduk di samping isterinya, dia bertanya, “Ayahmu mengatakan kepadaku bahawa engkau buta. Mengapa?” Wanita itu kemudian berkata, “Ayahku benar, kerana aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah”. Tsabit bertanya lagi, “Ayahmu juga mengatakan bahawa engkau tuli, mengapa?” Wanita itumenjawab, “Ayahku benar, kerana aku tidak pernah mahu mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah.Ayahku juga mengatakan kepadamu bahawa aku bisu dan lumpuh, bukan?” Tanya wanita itu kepada Tsabit yang kini sah menjadi suaminya. Tsabit mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan isterinya. Selanjutnya wanita itu berkata, “aku dikatakan bisu kerana dalam banyak hal aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta’ala saja. Aku juga dikatakan lumpuh kerana kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang boleh menimbulkan kegusaran Allah Ta’ala”.Tsabit amat bahagia mendapatkan isteri yang ternyata amat soleh dan wanita yang memelihara dirinya. Dengan bangga ia berkata tentang isterinya, “Ketika kulihat wajahnya… Subhanallah, dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap”.Tsabit dan isterinya yang salihah dan cantik itu hidup rukun dan berbahagia. Tidak lama kemudian mereka dikurniakan seorang putra yang ilmunya memancarkan hikmah ke seluruh penjuru dunia, Beliau adalah Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit.
yok sile share akhi-ukhti ..